Siap-siap! Nasib Jokowi Bisa Seperti Presiden RI Ke-2 Karena 3 Alasan Berikut Ini

- 16 November 2020, 08:20 WIB
Presiden Jokowi bersama Wapres Ma'ruf Amin memberikan keterangan pers di Istana Merdeka, Sabtu 31 Oktober 2020
Presiden Jokowi bersama Wapres Ma'ruf Amin memberikan keterangan pers di Istana Merdeka, Sabtu 31 Oktober 2020 /Rusman/Biro Pers Sekretariat Presiden

SEMARANGKU - Masa pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini tampak dihantam berbagai masalah.

Keluhan masyarakat pun mulai disuarakan terkait kebijakan-kebijakan baru yang disahkan di masa pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi.

Contohnya saat pemerintah mengesahkan RUU KPK, yang dinilai melemahkan pihak KPK.

Baca Juga: Tak Cukup Rp50 Juta, Anies Baswedan Bakal Denda Habib Rizieq Rp100 Juta? Ini Faktanya

Baca Juga: Maaf! Hadiah Uang Gratis Rp 5 Juta dari Telkomsel hanya Untuk Nomor Ini, Cek Milikmu!

Hal tersebut tentunya menuai berbagai tanggapan kontra dari berbagai kalangan masyarakat.

Baru-baru ini, Presiden Jokowi juga telah mengesahkan UU Cipta Kerja Omnibus Law.

Sebelum disahkan, RUU tersebut sempat menuai penolakan dari berbagai kalangan masyarakat.

Baca Juga: Joe Biden Bersahabat dengan Palestina, Zionis Donald Trump Bakal Musnah?

Banyak terjadi demo unjuk rasa yang menuntut UU Cipta Kerja untuk dihilangkan, namun pada akhirnya UU Cipta Kerja tetap disahkan dan diterapkan di Indonesia.

Dilansir SEMARANGKU dari Jurnal Presisi: Istana Siaga Satu! Nasib Jokowi Bisa Berujung Seperti Soeharto, Ini 3 Penyebabnya

Dari berbagai keluhan dan ketidakpuasan masyarakat tersebut, Akademisi UII, Muhammad Zulfikar Rahmat dan Peneliti INDEF, Media Wahyu Afkar menyatakan akumulasi kekecewaan publik terhadap Jokowi menjadi tiga isu utama.

Baca Juga: Habib Rizieq Serukan Revolusi Akhlak, Teddy Gusnaidi Sebut HRS Bagai Toa Rusak: Bacot!

1. Kegagalan Jokowi memberikan perlindungan bagi Masyarakat Indonesia dalam Menghadapi Pancemi Covid-19

Pemerintah secara resmi melaporkan kasus Covid-19 pada 2 Maret 2020.

Sebelumnya, jajaran di pemerintah terkesan meremehkan hingga merespon dengan tidak serius meski sebagian pihak telah memberikan warning mengenai wabah yang merebak pertama kali di Wuhan, Cina pada akhir tahun 2019.

Kini, Indonesia menjadi negara dengan angka kematian tertinggi di Asia Tenggara.

Baca Juga: Kedatangan Habib Rizieq Disebut Membawa Provokasi oleh Panglima TNI? Ini Penjelasannya

Pada 7 November 2020, 430 ribu kasus Covid-19, tertinggi di Asia Tenggara dan peringkat 21 di dunia.

Yang menjadi sorotan, khususnya para akademisi adalah pemerintahan Jokowi lebih fokus untuk menyelamatkan kondisi Ekonomi di tengah badai resesi.

Pemerintah terlihat enggan melakukan sejumlah antisipasi demi mengurangi penyebaran virus Corona.

Baca Juga: WOW! Telkomsel Beri Hadiah Uang Gratis Rp5 Juta untuk Umum, Ini Syarat dan Cara Dapatnya

"Alih-alih mengalokasikan sumber daya ke sektor kesehatan ketika virus pertama kali menyerang negara Indonesia pada Maret, pemerintah memutuskan untuk mengalokasikan hampir Rp 300 miliar di sektor pariwisata untuk menangkal dampak negatif dari wabah virus corona.

Inisiatif, yang bertujuan untuk menarik lebih banyak turis asing, akhirnya ditunda karena tekanan dari masyarakat." dilansir dari the conversation 6 November 2020.

Hal ini berkebalikan dengan dua negara tetangga, Vietnam dan Singapura. Kedua negara itu dianggap berhasil dalam menangani penyebaran Covid-19.

Baca Juga: Bakal Cair Lagi, Cek Jadwal, Syarat, dan Jumlah Kuota Internet Gratis Kemdikbud untuk November Ini

"Ketika negara-negara seperti Vietnam dan Singapura yang mendapat pujian atas penanganan COVID-19 mereka telah memberlakukan aturan ketat untuk melindungi rakyatnya.

Sebaliknya, pemerintah Indonesia justru hanya memikirkan agar aktivitas ekonomi tetap berjalan normal."

Keputusan lainnya yang membuat publik semakin bertanya-tanya adalah, Kementrian BUMN mengharuskan karyawannya yang berusia di bawah 45 tahun untuk tetap bekerja di kantor, mengabaikan anjuran bekerja dari rumah.

Baca Juga: Alhamdulillah, Ada 7 Golongan Pelanggan yang Dapat Keringanan Tarif Listrik PLN November, Yuk Cek

Kebijakan ini sebagai upaya untuk melakukan relaksasi atau melonggarkan kebijakan lockdown secara parsial, khususnya di bidang bisnis.

Publik juga dikejutkan dengan kehadiran 500 pekerja Cina sebagai bagian sejumlah pengerjaan proyek-proyek Cina di Indonesia.

Menjawab keresahan masyarakat, Menko Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan manyetakan bahwa hal ini sebagai bagian dari meningkatkan perekonomian negara.

Baca Juga: Tunai! Habib Rizieq Shihab Bayar Denda Rp 50 Juta ke Pemprov DKI Jakarta

Keputusan tersebut malah menjadi kontradiksi dengan kebijakan penanganan Covid-19 seperti pembatasan sosial.

Tidak harmoninya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mendeteksi individu juga menjadi permasalahan dalam penentuan jumlah individu yang tertular.

enaga medis, sebagai ujung tombak dalam memerangi pandemi ini juga tida dibekali dengan perlengkapan yang memadai. hingga saat ini, ratusan tenaga medis menjadi korban dari overload bekerja maupun tertular pasien Covid-19.

Baca Juga: Mau Bantuan Rp 2,4 Juta? Cara Daftar BLT UMKM BPUM Hingga Dicek Terdaftar di eform.bri.co.id/bpum

Tragisnya, sejauh ini Indonesia tengah mengalami resesi sedangkan korban Covid semakin bertambah dari hari ke hari.

2. Tidak Mempedulikan Keluhan Masyarakat

Pada pertengahan tahun, sejumlah elemen masyarakat, termasuk kelompok Agama terbesar di Indonesia, menyerukan untuk menunda penyelenggaraan Pilkada.

Namun hal ini direspon negatif, pemerintah tetap bersikeras untuk terus melanjutkan pemilihan di 270 daerah di akhir tahun.

Baca Juga: BLT BPJS Ketenagakerjaan Termin 2 Sudah Cair ke 4,8 Juta Orang, Kamu Belum Dapat? Ini Sebabnya

Pemerintah berdalih akan menerapkan protokol kesehatan sehingga tidak berdampak positif terhadap pertambahan jumlah korban Covid-19.

Faktor ekonomi lagi-lagi menjadi tameng. Saat masa Pilkada, roda perekonomian akan terus berputar.

Buah pemikiran hasil kolaborasi antara dosen HI dan peneliti di organisasi yang berfokus pada isu-isu Pengembangan Ekonomi dan Keuangan ini menyatakan bahwa sikap masa bodoh disebabkan oleh dua hal:

Baca Juga: Yeay! BLT Subsidi Gaji BPJS Termin 2 Batch 2 Cair ke 2,7 Juta Rekening, Cek Penerima di Link Ini

"Pertama, faktor Gibran Rakabuming Raka dan menantunya, Bobby Nasution menjadi peserta Pilkada di Solo, Jawa Tengah dan Medan, Sumatera Utara.

Alasan penundaan ini akan berdampak negatif bagi keikutsertaan kedua kandidat yang diusung oleh partai PDI-P."

Permasalahan berikutnya yang membuat rakyat semakin geram adalah Jokowi tidak mengindahkan keluhan rakyat soal RUU Cipta Kerja.

Baca Juga: Hasil Balap MotoGP Valencia 2020 Joan Mir Juara Dunia 2020, Banyak Rekor Aneh Terpecahkan!

"Kedua, Jokowi menutup telinga atas tuntutan masyarakat untuk menghentikan pengesahan RUU Cipta Kerja.

Sebaliknya dia dan anggota parlemen diam-diam mengeluarkan undang-undang yang dikritik karena mengorbankan tenaga kerja dan lingkungan demi mengutamakan kepentingan investor."

Unjuk Rasa di berbagai wilayah di Indonesia tidak membuat Jokowi bergeming. Malah, rakyat dihadiahi oleh gas air mata dan ditangkap tanpa didampingi kuasa hukum.

Baca Juga: Tak Cukup Rp50 Juta, Anies Baswedan Bakal Denda Habib Rizieq Rp100 Juta? Ini Faktanya

3. Kriminalisasi Oposisi

Buruknya pemerintahan Jokowi dapat terlihat dari represi yang dilakukan pemerintah dalam membungkan orang-orang kritis atas kebijakannya. Beberapa bahkan telah ditangkap.

"Salah satunya adalah Ravio Patra, peneliti independen dan pemerhati pengelolaan data dan informasi pemerintah, yang ditangkap atas tuduhan menyebarkan informasi palsu setelah mengkritik pemerintah di Twitter."

Belakangan ini, Pemerintah merambah ke media sosial dan tidak segan-segan menutup akun yang sering mengkritik pemerintah dan dilabel dengan penyebar hoaks.

Baca Juga: Maaf! Hadiah Uang Gratis Rp 5 Juta dari Telkomsel hanya Untuk Nomor Ini, Cek Milikmu!

Sebelumnya, aktivis, jurnalis dan sutradara film dokumenter, Dhandy Laksono juga ditangkap ada 27 September 2019.

Pihak berwajib mengenakan pasal Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

UU ini mengatur tentang penyebaran ujaran kebencian terhadap individu atau suatu kelompok berdasarkan SARA.

Baca Juga: Joe Biden Bersahabat dengan Palestina, Zionis Donald Trump Bakal Musnah?

Pria berusia 44 tahun ini kerap mengkritik pemerintahan melalui berbagai film dokumenter lewat Watch Doc Documentary.

Salah satu yang menghebohkan adalah dokumenter 'The Sexy Killer'. Film yang berdurasi 1,5 jam itu mengungkap peran para elit politik di balik bisnis batu bara.

Dalam film ini diceritakan bagaimana industri batu bara berdampak pada warga, terutama nelayan dan petani.

Baca Juga: Habib Rizieq Serukan Revolusi Akhlak, Teddy Gusnaidi Sebut HRS Bagai Toa Rusak: Bacot!

Selain itu, musisi dan juga aktivis, jerinx juga ditangkap dan diancam hukuman 3 tahun penjara setelah unggahannya dalam ujaran "IDI Kacung WHO".

Bukan kali ini saja pria bernama asli Ari Astina ini mengkritisi kebijakan pemerintah. Sebelumnya, drummer SID ini juga bergabung dalam Gerakan "Bali Tolak Reklamasi".

Dampak dari aktivitas tersebut adalah band Punk asal Bali, Superman Is Dead kesulitan bermain di sejumlah tempat karena pilihan politik band yang pernah melakoni tur di Amerika pada tahun 2009. (Yudha)***

Editor: Risco Ferdian

Sumber: Jurnal Presisi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah