Mengingat Kembali Erupsi Merapi, Hingga Pesan Terakhir Mbah Maridjan Perkara Ajining Manungsa

13 Desember 2021, 20:30 WIB
Mengingat Kembali Erupsi Merapi, Hingga Pesan Terakhir Mbah Maridjan Perkara Ajining Manungsa /Pikiran Rakyat/Yusuf Wijanarko/

SEMARANGKU - Tragedi Gunung Semeru baru-baru ini, mengingatkan masyarakat dengan peristiwa serupa erupsi Gunung Merapi tahun 2010 lalu.

Erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 lalu masih menyisakan duka, mengingat sosok Juru Kunci Mbah Maridjan turut menjadi korban.

Bagaimana tidak, pada tragedi erupsi Gunung Merapi itu, kronologi kematian Mbah Maridjan yang terkena deburan awan panas masih terkenang dan sulit dilupakan.

Kisah heroik Mbah Maridjan yang mengemban tanggung jawab sebagai juru kunci Merapi hingga akhir hayatnya, menjadi cerita legenda masyarakat sekitar.

Baca Juga: Gunung Semeru Erupsi, Ganjar Pranowo Waspadai Merapi: Warga Sekitar Harus Siaga!

Bahkan untuk mengenang jasa mendiang, tempat tinggal Mbah Maridjan kini dijadikan Museum.

Hingga saat ini, museum itu masih ramai dikunjungi banyak wisatawan.

Tidak hanya itu, beberapa masyarakat yang berprofesi sebagai petani kini memiliki profesi sampingan seperti pengelola wisata, ada juga yang beralih menjadi pedagang.

Masyarakat sekitar meyakini bahwa berkah yang terasa sampai saat ini adalah dampak dari erupsi Merapi lalu.

Sosok Mbah Maridjan adalah sosok teladan, meski sudah tiada berkat usaha dan pengaruhnya beliau masih mendatangkan berkah bagi penduduk sekitar.

Baca Juga: Ganjar Pranowo Himbau Warga Sekitar Gunung Merapi Siaga, Minta Aktivitas Penambangan di Sungai Dihentikan

Oleh karena itu, penduduk sekitar mengenang dan menghargai upaya Mbah Maridjan.

Apresiasi penduduk kepada juru kunci gunung itu, adalah dengan mengingat dan melaksanakan petuah yang disampaikan.

Diceritakan, bahwa menjelang akhir hidupnya, Mbah Maridjan menitipkan pesan yakni “Ajining manungso iku gumantung ono ing tanggung jawabe marang kewajibane”.

Pesan tersebut terus diingat oleh penduduk hingga mereka menuliskannya pada monumen/ gerbang petilasan Mbah Maridjan.

Dalam bahasa indonesia, pesan tersebut diartikan” Kehormatan seseorang dinilai dari tanggung jawab terhadap kewajiban”.

Pesan Mbah Maridjan itu, adalah tekad yang dipegang oleh beliau hingga akhir hayatnya.

Terbukti petuah itu Mbah Maridjan lakukan saat dirinya tewas seorang diri di kamarnya pada erupsi Merapi 2010 lalu.

Kisah meninggalnya Mbah Maridjan sangat dramatis, dan menjadi pesan untuk direnungkan masyarakat.

Semakin menyayat hati, bahwa kuasa Tuhan atas alam ini begitu besar dan manusia begitu kecil dihadapan takdir.

Seperti kisah Mbah Maridjan yang menjadi gambaran bahwa, dia begitu memahami kondisi Merapi dan sangat akrab dengan kondisi sekitarnya.

Kabar erupsi dan tanda-tanda bahaya, beliau lebih paham dan bisa saja melakukan mitigasi dari awal.

Namun, tekad dan takdir berkata lain, walaupun dia juru kunci namun dirinya tidak kuasa dihadapan takdir kematiannya.

Meski begitu, Mbah Maridjan menjalankan tanggung jawabnya sebagai juru kunci hingga takdir kematian menjemputnya.

Jika berkunjung ke lokasi, nuansa cerita tragedi erupsi Merapi akan semakin terasa.

Ditambah pemandu wisata yang menceritakan sosok Mbah Maridjan.

Tidak lupa, wisatawan akan diajak mengenang Mbah Maridjan dengan melakukan teriakan khas beliau, “Mbah Maridjan, roso!”

Hal tersebut menjadi bukti bahwa keduanya adalah sosok yang tidak dapat dipisahkan dan telah melekatkan stigma bahwa Gunung Merapi identik dengan Mbah Maridjan.***

Editor: Heru Fajar

Tags

Terkini

Terpopuler