“Apa yang dilakukan para pengunjuk rasa ini adalah illegal,” kata Aber Shaygan salah satu wartawan dikutip Semarangku melalui Al-Jazeera.
“Dan dengan meliput ha;-hal seperti itu, Anda semua telah melanggar hukum. Kami akan membiarkanmu pergi kali ini, tetapi lain kali kamu tidak akan dilepaskan dengan mudah,” lanjutnya.
Ketika protes yang dilakukan oleh warga Afghanistan yang mayoritas diikuti oleh perempuan tersebut, Taliban masih memperbolehkan aksi protes tersebut.
Namun, dalam beberapa jam setelahnya Taliban mengeluarkan dekrit yang mengatakan bahwa protes apa pun harus disetujui 24 jam sebelumnya oleh Kementerian Kehakiman.
Klaim ilegalitas atas aksi protes tersebut menurut Shaygan dan rekannya dinilai bertentangan langsung dengan janji Taliban mengenai kebebasan pers dan Imarah Islam.
Pada konferensi pers, 17 Agustus yang diadakan oleh Taliban, juru bicara mereka Zabihullah Mujahid menjami kebebasan pers di Afghanistan.
“Media swasta dapat terus bebas dan independent, mereka bisa melanjutkan aktivitasnya. Kenetralan media sangat penting. Mereka dapat mengkritik pekerjaan kamu, sehingga kami dapat meningkatkan,” ujar Mujahid.
Mujahid kemudian membuat klaim serupa pada pertemuan pribadi dengan wartawan yang bekerja untuk media asing pada akhir bulan lalu.
Ketika itu, Mujahid mendorong wartawan untuk bersikap transparan dan melaporkan realitas kehidupan di Afghanistan yang dipimpin Taliban.
Tetapi, minggu-minggu berikutnya media sosial Afghanistan penuh dengan video dan gambar yang menunjukan bahwa Taliban berusaha mencegah wartawan meliput berita.