AS Diminta Desak Negara Lain untuk Memaksa Tiongkok Menghentikan Kerja Paksa di Xianjiang

- 11 September 2020, 08:47 WIB
AS Diminta Desak Negara Lain untuk Memaksa Tiongkok Menghentikan Kerja Paksa di Xianjiang
AS Diminta Desak Negara Lain untuk Memaksa Tiongkok Menghentikan Kerja Paksa di Xianjiang /MGN

SEMARANGKU - Sebuah asosiasi yang menghimpun beberapa perusahaan pakaian terbesar AS dan internasional mendesak Amerika Serikat (AS) agar meyakinkan negara-negara lain untuk turut menekan Tiongkok untuk mengakhiri kerja paksa di wilayah otonom Xinjiang, Uygur.

Dilansir Semarangku dari South China Morning Post (SCMP) pada Jumat, 11 September 2020, seorang pejabat American Apparel and Footwear Association yang mewakili merek The Gap, Versace, Jimmy Choo dan merek lainnya pada hari sebelumnya mengatakan bahwa lebih banyak negara harus bergabung dalam upaya diplomatik untuk menghentikan kerja paksa di wilayah tersebut.

Wakil presiden senior pada asosiasi perusahaan pakaian tersebut, Nate Herman pada Kamis, 10 Septemer 2020 dalam diskusi online yang diselenggarakan oleh Dewan Bisnis AS-Tiongkok menyatakan bahwa AS tidak melakukan apa pun untuk membawa Eropa, Australia, Kanada, Jepang, Korea bergabung dalam upaya tersebut.

Baca Juga: Jadwal Acara Trans TV Hari Ini Jumat, 11 September 2020, Ada Film The Last Day On M

Baca Juga: Jadwal TV Indosiar Hari Ini Jumat, 11 September 2020, Ada LIVE LIGA DANGDUT INDONESIA 2020

"Amerika Serikat tidak melakukan apa pun untuk membawa Eropa, Australia, Kanada, Jepang, Korea," kata Nate.

Herman menambahkan bahwa AS perlu mencoba mendesak keterlibatan negara-negara tersebut, termasuk juga PBB dan lembaga internasional lainnya.

Beberapa anggota asosiasi, seperti PVH Corp yang merupakan pemilik merek Calvin Klein dan Tommy Hilfiger menuai kritik yang menyatakan bahwa produk mereka mungkin melibatkan kerja paksa dari wilayah Xinjiang.

Baca Juga: Kabar Baik! Korban PHK Bisa Dapat BLT Rp1,2 Juta, Ini Caranya!

Baca Juga: Lens vs PSG: Pasukan Thomas Tuchel Dikalahkan Tim Promosi Ligue 1

PVH pada tahun lalu mengumumkan bahwa mereka menambahkan Xinjiang sebagai yurisdiksi yang tunduk pada “kebijakan negara yang dibatasi", yang berarti bahwa perusahaan tersebut tidak akan melarang pemegang lisensi produknya untuk memproduksi barang jadi di Xinjiang.

“Sebagai bagian dari strategi rantai pasokan jangka panjang kami yang berkelanjutan, kami telah berkomunikasi selama enam tahun terakhir bahwa kami mengurangi jejak manufaktur, tekstil dan kapas kami di China dan meningkatkan vertikalitas kami di lokasi manufaktur lainnya,” kata PVH.

Ketika hubungan AS-China memburuk dalam beberapa tahun terakhir, perlakuan China terhadap Uygur, etnis minoritas Muslim yang sebagian besar berbasis di wilayah tersebut, telah menjadi salah satu masalah yang paling diperdebatkan.

Baca Juga: Huami Rilis Amazfit Neo, Jam Tangan Pintar dengan Daya Kuat Hingga 1 Bulan, Cek Spesifikasinya!

Baca Juga: Hore! Pemberian BLT Rp600 Ribu Akan Lanjut Hingga 2021, Cek Keterangannya!

Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri menuduh pemerintah Tiongkok telah menahan sekitar 1 juta orang Uygur dan etnis Muslim lainnya di kamp-kamp penahanan di daerah tersebut.

Atas tuduhan tersebut, Tiongkok telah berulang kali membantah telah melakukan penganiayaan terhadap orang Uighur di tempat yang disebut sebagai pusat pelatihan kejuruan yang juga diklaim berhasil memerangi ekstremisme dan kekerasan.

Sanksi Xinjiang dan larangan impor barang yang diproduksi dengan kerja paksa telah memberi AS sikap terkuat tentang masalah ini.

Baca Juga: Alhamdulillah! BLT Subsidi Gaji Akan Diberikan Hingga Juni 2021, Simak Selengkapnya!

Baca Juga: Operator 3 Bagi-bagi Kuota Internet 30GB, Simak Siapa yang Dapat!

Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi membalas tuduhan penganiayaan terhadap warga muslim Uygur dan menyebut kamp interniran di Xinjiang tersebut sebagai upaya untuk melawan separatisme dan terorisme, bukan masalah hak asasi manusia atau agama.

Namun, beberapa analis, termasuk Amy Lehr yang merupakan direktur dan rekan senior di Human Rights Initiative di lembaga think tank Center for Strategic and International Studies yang berbasis di Washington, setuju bahwa lebih banyak tindakan yang perlu dilakukan bersama dengan sekutu AS terkait hal tersebut.

Lehr menilai AS belum konsisten dan itu tidak membuat sekutunya berani turut berpartisipasi sebab mereka tahu bahwa hhal tersebut akan sangat berisiko.

Baca Juga: Jadwal TV RCTI Hari Ini Jumat, 11 September 2020, Lanjutan Perempuan Pilihan

Baca Juga: Jadwal TV Global TV Hari Ini, Jumat 11 September 2020, Ada Ana Maria in Novela Land

"Ini jelas merupakan masalah yang sangat menantang bagi pemerintah mana pun untuk terlibat karena Tiongkok sangat penting dan hal ini juga ini adalah prioritas bagi Tiongkok. Jadi, ketika pemerintah mengatakan sesuatu, mereka cenderung menghadapi konsekuensi,” kata Lehr pada Kamis, 10 September 2020.***

Editor: Risco Ferdian

Sumber: South China Morning Post


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x