Dukung Demonstran Pro- Demokrasi! Mahasiswa Thailand Boikot Hari Kelulusan Kerajaan

31 Oktober 2020, 13:21 WIB
Sejumlah mahasiswa di Thailand memboikot Hari Kelulusan Kerajaan sebagai bentuk dukungan terhadap demonstran pro-demokrasi /

SEMARANGKU – Sejumlah mahasiswa di Thailand mengespresikan dukungannya kepada para demonstran pro-demokrasi dengan cara memboikot acara hari kelulusan kerajaan yang dipimpin oleh Raja Maha Vajiralongkorn.

Para pelajar juga meluapkan kemarahannya kepada monarki seiring dengan menguatnya tuntutan reformasi pemerintahan dengan memboikot acara kelulusan kerajaan yang digelar pada Jumat hingga Sabtu, 30-31 Oktober 2020 tersebut.

Dalam acara kelulusan itu, yang merupakan proses peralihan para lulusan dan sesi foto bersama keluarga mereka, raja secara pribadi hadir untuk memberikan ijazah kepada para lulusan.

Baca Juga: BTS Akan Tampilkan Dynamite dan Debutkan Lagu Utama Album BE di The American Music Awards AMAs 2020

Baca Juga: Foto Teaser untuk Album BTS, BE, Telah Dirilis, Ada Kaitannya dengan Pidato BTS di Sidang Umum PBB

Dilansir oleh Semarangku dari RRI.co.id pada Sabtu 30 Oktober 2020, pemerintah monarki konstitusional Thailand menjadi sasaran protes terbuka dan tuntutan para pengunjuk rasa pro-demokrasi yang menghendaki reformasi system pemerintahan.

Selain itu, ujuk rasa yang melibatkan puluhan ribu orang sejak bulan Juli 2020 tersebut menuntut agar Raja beserta Perdana Menteri, Prayuth Chan-ocha yang ditudung melancarkan kudeta pada tahun 2014 lalu mengundurkan diri.

Massa pengunjuk rasa menyerukan untuk mengekang kekuasaannya, menentang hukum tabu dan lese majeste yang telah lama ditetapkan yang menetapkan hukuman penjara hingga 15 tahun bagi siapa saja yang mengkritik raja atau keluarganya.

Baca Juga: Pemerintah Armenia dan Azerbaijan Setujui Keputusan Bersama untuk Redakan Konflik Nagorno-Karabakh

Baca Juga: Raja dan Perdana Menteri Thailand Dituding Abai Terhadap Warganya

Salah satu mahasiswa yang turut memboikot, Suppanat Kingkaew (23) mengatakan Universitas Thammasat yang menjadi tempat perayaan keluluusan telah lama menjadi sarang radikalisme dan tempat pembantaian pengunjuk rasa pro-demokrasi oleh pasukan negara royalis pada tahun 1976.

"Apa pun yang bisa dilakukan agar aula tersebut ditinggalkan dengan jumlah orang yang paling sedikit," kata Suppanat kepada Reuters pada Sabtu, 31 Oktober 2020.

"Ini untuk mengirimkan pesan tidak langsung bahwa sebagian dari kita tidak senang dengan monarki dan kita menginginkan perubahan," tambahnya.***

Editor: Bakrisal Rospa

Sumber: RRI.co.id

Tags

Terkini

Terpopuler