Cara Qadha Puasa untuk Membayar Hutang Puasa Ramadhan, Beda Penyebab Beda Hukumnya

22 Maret 2023, 19:45 WIB
niat dan tata cara membayar hutang puasa Ramadhan /Pixabay

SEMARANGKU - Puasa Ramadhan merupakan kewajiban umat Islam. Namun, dalam pelaksanaanya banyak kelonggaran yang diberikan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, dan boleh mengqadha (mengganti) hutang puasa Ramadhan di kemudian hari.

Tidak menjalankan puasa Ramadhan karena udzur syar’i seperti sakit, nifas, haid, bepergian, hamil, menyusui dan berat melaksanakannya diperbolehkan dalam Islam.

Ketika udzurnya selesai dan bulan Ramadhan telah berlalu, mereka harus segera mengqadha puasa sejumlah hari yang ditinggalkannya.

Baca Juga: Bagaimana Mengganti Hutang Puasa Ramadhan Orang Yang Sudah Meninggal? Simak Penjelasannya

Orang-orang yang melakukan qadha puasa Ramadhan akan mendapatkan kebaikan, membersihkan hutang, dan mempercepat mengerjakan kewajibannya.

Lalu, bagaimana cara mengqadha puasa Ramadhan? Apakah sama untuk semua orang yang punya hutang puasa?

Untuk orang yang sakit dan bepergian, kewajiban mengqadha puasa ditetapkan dalam Al-Qur’an,

“Maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain.” QS Al-Baqarah (2): 185.

Qadha puasa Ramadhan bagi wanita yang haid dan nifas, didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW, dari Aisyah, ia berkata,

“Dahulu kami haid pada zaman Rasulullah SAW, setelah kami bersuci beliau menyuruh kami mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat.”

Pendapat yang shahih mengatakan qadha puasa Ramadhan bersifat longgar dan bisa diundur, sehingga umat muslim bisa melaksanakan puasa sunnah sebelum mengqadha puasa Ramadhan.

Pendapat ini merujuk pada ucapan Aisyah r.a, yang berkata, ”Saat itu saya memiliki hutang puasa Ramadhan. Saya tidak sanggup untuk mengqadhanya kecuali pada bulan Sya’ban.”

Dalam mengqadha puasa, diperbolehkan untuk mengerjakannya secara berurutan, dan ini dipandang lebih utama karena menyerupai pelaksanaan puasa Ramadhan, kewajiban segera terbayar, dan tidak ada selisih pendapat antara ulama.

Mengqadha puasa Ramadhan secara terpisah-pisah merupakan pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf. Praktik puasa berurutan hanya diwajibkan pada bulan Ramadhan.

Adapun setelah Ramadhan, maka hakikat berpuasa adalah untuk membayar hari-hari yang ditinggalkan. Seperti firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah (2): 185 diatas.

Orang yang berbuka puasa dengan sengaja sebelum waktunya pada saat mengqadha puasa Ramadhan, tidak ada hukuman baginya. Namun, satu hari tetap diganti dengan satu hari.

Untuk orang yang belum mengganti puasanya, sementara Ramadhan berikutnya telah datang, maka ada 2 hukumnya.

Pertama, jika karena alasan syar’i tidaklah mengapa, demikian pendapat ijma’ ulama, karena keterlambatan itu disebabkan udzur syar’i yang dibenarkan.

Kedua, jika ia tidak mengqadha puasa Ramadhan tanpa alasan syar’i maka berdasarkan pendapat para sahabat, setiap hari ia harus memberi makan fakir miskin sebagai kifarat sebanyak hari yang ditinggalkannya.

Pendapat ini dipakai oleh imam Malik, Al-Tsauri, imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan lainnya.

Ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa tidak ada hukuman kecuali hanya dengan mengqadha puasanya. Ini merupakan pendapat dari Al Nakha’i, Abu Hanifah, dan sahabatnya.***

Editor: Heru Fajar

Tags

Terkini

Terpopuler