Network
SEMARANGKU - Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat pada 17 Februari 1908.
Buya Hamka adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia.
Ia berkiprah sebagai wartawan, penulis, dan pengajar.
Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara, anak pasangan Abdul Karim Amrullah "Haji Rasul" dan Safiyah.
Haji Rasul merupakan ulama terkemuka sekaligus reformis Islam di Indonesia. Ia juga merupakan pendiri Sumatra Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia.
Baca Juga: Ramalan Zodiak Hari Ini 17 Februari 2023 Buat Aquarius Hari Ini adalah Hari Keberuntungan Anda
Hamka kecil yang biasa
dipanggil Malik bersekolah di Sekolah Desa Padang Panjang. Ia mengambil kelas sore di Diniyah School. Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya cepat menguasai bahasa Arab.
Pada 1918, Malik berhenti dari Sekolah Desa setelah tiga tahun di sana.
Karena menekankan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Malik ke Thawalib. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai nahwu, dan ilmu saraf.
Setelah belajar di Diniyah School setiap pagi, Malik menghadiri kelas Thawalib pada sore hari dan malamnya kembali ke surau. Namun, sistem pembelajaran di Thawalib yang mengandalkan hafalan membuatnya jenuh.
Dibayangi nama besar ayahnya yaitu Abdul Karim Amrullah, Hamka remaja sering melakukan perjalanan jauh sendirian.
Ia meninggalkan pendidikannya di Thawalib, menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Ia mulai belajar pergerakan Islam modern kepada sejumlah tokoh seperti H.O.S Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M Soerjopranoto dan H. Fachruddin. Dari sana ia mulai mengenal perbandingan antara pergerakan politik Islam, yaitu Sarekat Islam Hindia Timur dan gerakan Sosial Muhammadiyah.
Pada tahun 1927, Hamka berangkat menunaikan ibadah haji sambil menjadi koresponden pada harian Pelita Andalas di Medan.
Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier menjadi wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli. Hamka mengukuhkan tekad untuk meneruskan cita-cita pribadi dan ayahnya menjadi ulama dan sastrawan.
Hamka kembali ke Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia kemudian menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat.
Buya Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Di antaranya seperti Filsafat, Sastra, Sejarah, Sosiologi dan Politik, baik dalam dunia Islam maupun dunia Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat meneliti karya-karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas Al-Aqqad, Mustafa Al-Manfaluti, dan Husayn Haykal.
Melalui karyanya yaitu Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama Buya Hamka dikenal juga sebagai sastrawan.
Buya Hamka terjun ke dunia politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan.
Ia menjabat sebagaj Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif di Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.
Baca Juga: iPhone 11 Masih Jadi Incaran Banyak Orang, Segini Harga Per Februari 2023, Jangan Kehabisan
Universitas Al-Azhar Mesir dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkan gelar doktor kehormatan pada Buya Hamka. Sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah.
Ketokohan Buya Hamka dan keluasan ilmu pengetahuannya, serta kepeduliannya terhadap umat Islam, tidak hanya terkenal di Indonesia, tetapi juga di Timur Tengah dan Malaysia.
Tun Abdul Razak Perdana Menteri Malaysia pernah mengatakan bahwa Buya Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi juga kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.
Buya Hamka yang merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia itu meninggal di Jakarta, tanggal 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun.***
